What gets measured gets improved.
Mengetahui “angka” adalah hal yang wajib dilakukan untuk menghasilkan campaign digital marketing yang sukses.
Angka ini dikenal dengan istilah metrics.
Misalnya, Cost per Click (CPC), Click-Through Rate (CTR), Page Views, Impressions, Conversion Rate, Conversion Value, dsb.
Metrics ini dapat diibaratkan sebagai sebuah nilai rapot, di mana kita bisa melihat performansi suatu campaign.
Setelah tahu nilainya, kita dapat menganalisa mana yang bagus dan yang tidak, sehingga kita jadi memiliki arah yang jelas untuk melakukan improvement.
Sampai sini Anda mungkin berpikir, “Harus dipelajari dan dimonitor semua? Pusing! Ada banyak banget angka-angkanya.”
Untungnya, Anda hanya perlu mengukur 3 metrics utama.
Apa saja ketiga metrics tersebut? Inilah yang akan dibahas pada artikel kali ini.
Metric 1: Cost per Acquisition
Metric pertama adalah Cost per Acquisition (CPA).
Apa itu Cost per Acquisition?
Secara singkat CPA adalah biaya yang diperlukan atau dikeluarkan untuk mendapatkan 1 customer.
Rumus menghitung CPA sangat sederhana, yaitu biaya yang dikeluarkan dibagi jumlah customer yang didapatkan.
Misalnya, campaign Google Ads Anda menghabiskan budget Rp.10.000.000 dan mendapatkan 1.000 customer, maka CPA Anda adalah Rp.10.000
Atau jika Anda mengeluarkan uang untuk meng-endorse selebgram sebesar Rp.10.000.000 dan berhasil mendapatkan 500 customer, maka CPA Anda adalah Rp.20.000.
Ya, angka CPA ini tidak tetap dan cenderung berubah tergantung channel marketing yang digunakan dan periode campaign dijalankan.
Yang penting Anda mengetahui rata-rata CPA setiap channel dan memonitor pergerakannya secara berkala.
Berapa angka CPA yang ideal?
Kita belum dapat menjawab pertanyaan tersebut sebelum mengetahui metric kedua yang akan kita bahas berikutnya.
Metric 2: Average Revenue per Customer
Metric kedua adalah Average Revenue per Customer (ARPC).
Apa itu Average Revenue per Customer?
Singkatnya, ARPC adalah rata-rata keuntungan yang dihasilkan dari 1 orang customer pada 1 transaksi.
Angka ini tergantung dari keuntungan per unit dari suatu item dan juga kuantitas yang dibeli tiap customer.
Misalnya, customer membeli produk A dengan keuntungan Rp.50.000 / unit sebanyak 10 buah dan produk B dengan keuntungan Rp.20.000 / unit sebanyak 5 buah. Maka revenue dari customer tersebut adalah Rp.600.000.
Sederhana sekali kan?
Tentu contoh ini baru revenue dari satu customer, kita perlu mengolah data customer sebanyak mungkin dan mencari nilai rata-ratanya untuk hasil yang akurat.
Cara Memanfaatkan Kedua Metrics: CPA dan ARPC
Setelah mengetahui ARPC, kini kita dapat membandingkannya dengan CPA.
Secara teori,
- CPA > ARPC, artinya rugi
- CPA = ARPC, artinya impas
- CPA < ARPC, artinya untung
Dengan membandingkan CPA dan ARPC, kini kita dapat mengetahui mana campaign yang menguntungkan dan mana yang hanya buang-buang uang saja.
Sampai sini mungkin Anda merasa ada yang janggal.
Bagaimana jika customer tidak hanya bertransaksi sekali saja? Di kemudian hari mungkin saja customer yang sama melakukan transaksi kembali.
Khususnya, di bisnis B2B di mana cenderung terjadi repeat order dalam jangka waktu yang panjang.
Setuju, untuk kasus seperti itu sebaiknya kita tidak menggunakan ARPC, melainkan Average Customer Lifetime Value (ACLV).
Ini adalah metric ketiga yang akan kita bahas.
Metric 3: Average Customer Lifetime Value (ACLV)
Average Customer Lifetime Value, secara sederhana adalah rata-rata keuntungan yang dihasilkan dari 1 orang customer, selama periode customer masih berpotensi melakukan transaksi.
Misalnya, bisnis Anda menjual susu formula untuk bayi berusia 0-6 bulan, maka pembeli berpotensi untuk melakukan transaksi berulang hingga 6 bulan ke depan.
Bedanya ACLV dengan ARPC adalah dari segi periode (rentang waktu) pengukuran.
Jika ARPC hanya mengukur revenue yang dihasilkan dalam 1 transaksi, ACLV ini menghitung revenue dalam jangka waktu yang jauh lebih panjang.
Mengukur ACLV tentu jauh lebih sulit, karena kita perlu mengukur:
- rata-rata rentang waktu customer melakukan pembelian berulang,
- rata-rata frekuensi pembelian selama masih menjadi customer,
- rata-rata revenue setiap transaksi
Sangat sulit mengambil kesimpulan tanpa didukung oleh database dan analisa yang terpercaya.
Namun dengan mengetahui ACLV yang akurat (setidaknya mendekati), kita dapat membuat keputusan yang lebih baik lagi.
Misalnya, jika Anda tahu bahwa saat ini mengakuisisi seorang customer membutuhkan biaya Rp.1.000.000, dan rata-rata profit yang dihasilkan per transaksi (ARPC) adalah Rp.500.000, maka terlihat tidak masuk akal untuk melanjutkan campaign.
Namun, jika Anda tahu bahwa rata-rata customer akan melakukan pembelian berulang, sebulan sekali selama 12 bulan ke depan, maka profit berdasarkan ACLV adalah Rp.6.000.000. Dan kini Anda tahu bahwa campaign tidak rugi, melainkan berjalan sangat baik dengan Return on Investment (ROI) 600%
ARPC vs ACLV: Mana yang Harus digunakan
Jika kita melihat penjelasan di atas, mungkin terlihat bahwa ACLV lebih superior dibandingkan ARPC.
Namun perlu diingat bahwa untuk menghitung ACLV tidaklah mudah.
Jika untuk saat ini belum memungkinkan untuk menghitung ACLV dengan akurat, karena keterbatasan data atau alasan lainnya, maka kita dapat menggunakan ARPC.
Selain itu, perhitungan ACLV juga lebih cocok untuk analisa jangka panjang.
Jika budget untuk campaign digital marketing terbatas dan perlu mendapat kesimpulan dengan cepat, maka ARPC juga lebih ideal digunakan.
Baik ARPC maupun ACLV memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, gunakanlah sesuai kebutuhan dan purpose campaign Anda.
Tujuan Utama dari Mengukur Metrics
Dengan membandingkan metrics CPA vs ARPC atau CPA vs ACLV, kini kita dapat mengukur efektivitas campaign yang dijalankan.
Tentu kita tidak puas dengan campaign yang hanya sekedar menguntungkan.
Yang kita inginkan adalah profit semaksimal mungkin.
Karena itu diperlukan continuous improvement dalam menekan cost (CPA) agar nilainya semakin kecil dan meningkatkan revenue (ARPC ataupun ACLV) agar nilainya semakin besar.
Secara teori memang sangat sederhana, pertanyaannya bagaimana caranya?
Cara Menurunkan Cost per Acquisiton (CPA)
Untuk menurunkan CPA, yang pertama kita perlu lakukan adalah memahami kondisi prospek dengan baik.
Proses seorang prospek mulai pertama kali mengenal bisnis / produk Anda, hingga menjadi customer adalah sebuah perjalanan yang panjang.
Perjalanan ini dikenal dengan istilah Buyer’s / Customer Journey.
Prospek dapat mengenal produk Anda dari berbagai channel, mungkin dari sosial media atau dari rekomendasi teman.
Dan kondisi prospek saat itu juga berbeda-beda, ada yang merasa belum butuh atau ada yang memang sedang mencari produk dan membutuhkannya secepat mungkin.
Kita dapat membagi titik perjalanan ini ke dalam tiga tahap: awareness, consideration, dan decision.
Penjelasan ketiga tahap tersebut secara singkat.
Awareness : prospek baru mengenal produk / brand Anda, belum ada ketertarikan
Consideration: propsek sudah mulai mengenal produk / brand Anda dan sedang mempertimbangkan benefit yang didapatkan
Decision: prospek sudah tertarik ingin bertransaksi, hanya tinggal butuh sedikit dorongan
Penjelasan lebih lanjut mengenai Buyer’s / Customer Journey dapat Anda lihat pada artikel ini.
Setelah memahami tahapan masing-masing audiens, selanjutnya kita dapat merancang strategi yang lebih baik, misalnya membuat konten yang sesuai dengan tahapan audiens, menggunakan channel yang tepat untuk menjangkau mereka.
Dengan begitu, biaya dan effort yang dikeluarkan untuk campaign akan lebih efisien dan tepat sasaran, sehingga menghasilkan prospek yang lebih banyak dan berkualitas.
Hasilnya adalah CPA yang lebih murah.
Cara Meningkatkan Revenue (ARPC atau ACLV)
Bagaimana cara meningkatkan revenue?
Dalam konteks artikel ini, kita dapat mengupayakan 2 hal.
- Meningkatkan nilai pembelian dalam satu transaksi (ARPC),
- Meningkatkan frekuensi pembelian existing customer (ACLV)
Untuk meningkatkan nilai pembelian dalam satu transaksi, kita dapat menggunakan beberapa strategi seperti:
- Upselling atau cross-selling: menawarkan produk yang lebih bernilai tinggi atau produk pendamping lainnya kepada pembeli yang sedang atau sudah bertransaksi. Strategi ini dipopulerkan oleh McDonald’s, seperti: “Minumannya mau di-upsize (upselling)? Kentangnya sekalian (cross-selling)?”
- Promo: dapat bermacam-macam bentuknya, mulai dari diskon dengan minimum pembelian atau berdasarkan kuantitas (misalnya: Buy 2 Get 1 Free). Intinya kita ingin mendorong pembeli untuk bertransaksi lebih.
- One Time Offer: mirip dengan upselling atau cross-selling, bedanya penawaran hanya dapat dibeli pada kesempatan ini saja, sehingga pembeli merasa FOMO (fear of missing out).
Untuk meningkatkan frekuensi penjualan existing customer, pertama kita perlu mendapatkan data diri customer, biasanya berupa email dan nomor telepon.
Dengan data tersebut, selanjutnya kita dapat menjangkau pengunjung dengan mengirimkan pesan (melalui: email, WhatsApp, atau notifikasi lainnya) untuk memotivasi mereka melakukan pembelian berulang.
Konsep ini juga dikenal dengan istilah retargeting.
Semuanya perlu didukung oleh customer experience yang bagus saat pertama kali bertransaksi, seperti: produk yang berkualitas, pelayanan yang baik dan menyenangkan.
Sehingga sewaktu-waktu customer menerima pesan mengenai produk baru / promo, mereka akan termotivasi untuk melakukan pembelian berulang.
Kesimpulan
Conversion Rate buruk? Cost per Click mahal?
Tidak jadi masalah, selama CPA masih di bawah ACLV dan memberikan keuntungan yang diharapkan.
Begitu juga sebaliknya.
Click-Through Rate yang tinggi dan Quality Score yang sempurna memang indah dipandang, namun tidak ada artinya jika tidak dapat menghasilkan customer bernilai tinggi.
Di bisnis yang terpenting adalah profit. Dan informasi inilah yang diungkapkan secara jujur oleh metrics yang kita sudah bahas.
Apapun channel-nya, apapun strateginya, pastikan 3 metrics tersebut menjadi fondasi dalam campaign digital marketing yang kita jalankan.
Sudahkah Anda mengukur 3 metrics ini? Bagaimana hasilnya?
Silakan sampaikan pendapat Anda pada kolom komentar.